“Minor” Film Terbaik Aceh Documentary Competition 2019
*Ini Harapan Cek Zainal Kepada Sineas Muda Aceh*
Banda Aceh – “Minor”, film dokumenter garapan duo sineas muda Vena Besta Klaudina dan Takziyatun Nufus berhasil menjadi film terbaik dalam ajang Aceh Documentary Competition (ADC) 2019.
Film yang menceritakan kehidupan umat Nasrani di Kota Banda Aceh ini berhasil mengalahkan film dokumenter besutan Sonya Anggi Yani dan Oka Rahmadiyah yang berjudul “Klinik Nenek”.
Sementara untuk kategori junior -Aceh Documentary Junior (ADJ) 2019, “Rintih di Tanah yang Pilu” film yang merekam sisi lain dari proyek jalan tol Trans Sumatera di kawasan Aceh Besar, didaulat sebagai yang terbaik.
Film yang disutradarai oleh M Fitra Rizkika dan Rahma Wardani tersebut sukses menyisihkan dua nominasi lainnya yakni “Sang Penjaga” dan “Ale Bak Jok”.
Malam penganugerahan kepada para pemenang digelar di Garuda Teater (Gedung ITLC) Banda Aceh, Sabtu (21/12/2019). Wakil Wali Kota Zainal Arifin turut menyerahkan piala dan piagam penghargaan kepada para penggawa kelima film terbaik ADC/ADJ 2019.
Dalam sambutannya, Cek Zainal mengucapkan selamat kepada seluruh pemenang, terutama film “Minor” yang kembali masuk nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2019 untuk kategori film dokumenter pendek.
“Ini merupakan kali kedua film dari Aceh yang masuk nominasi Festival Film Indonesia, setelah film dokumenter berjudul 1880 MDPL pada tahun 2016 dalam nominasi kategori film dokumenter pendek.”
Menurutnya, secara kualitas sineas-sineas Aceh punya masa depan cerah dalam berkarya. “Saya berharap kepada peraih nominasi ADC agar menjadikan karya ini sebagai jembatan untuk karya-karya selanjutnya. “Yang menjadikan senior dan tidak itu bukan usia tapi karya. Semakin banyak karya semakin banyak pengalaman yang didapat,” katanya.
Ia pun berharap kepada Aceh Documentary agar dapat terus mencetak sutradara muda dan karya-karya film yang mampu mengangkat sinema Aceh di kancah perfilman nasional dan internasional. “Saya atas nama Pemerintah Kota Banda Aceh akan selalu mendukung para sineas Aceh dalam menghasilkan karya-karyanya.”
“Saya bermimpi sekitar 10 sampai 20 tahun lagi Aceh bisa menjadi pusat pembelajaran dokumenter dunia karena kita memiliki banyak kisah sejarah seperti konflik, tsunami, dan syariat Islam yang tidak dimiliki oleh daerah lain,” demikian Zainal Arifin. (Jun)