Di TMII, Illiza Paparkan Potensi Budaya Banda Aceh

Jakarta – Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menjadi salah satu pembicara pada Dialog Nasional Kebudayaan Indonesia 2016: Percepatan Pencapaian Pembangunan Nasional Melalui Peran Kebudayaan, Sabtu (22/10/2016).

Kegiatan yang digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI ini merupakan rangkaian acara dari Pekan Produk Budaya Indonesia yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Selain Illiza, turut hadir sebagai pembicara di antaranya Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno, dan Bupati Karang Asem I Gusti Ayu Mas Sumatri. Sementara yang bertindak sebagai moderator yakni Dohardo Pakpahan.

Dalam presentasinya bertajuk “Potensi Budaya Banda Aceh”, Illiza memaparkan bagaimana Kota Banda Aceh menjadikan budaya sebagai sebuah potensi untuk pembangunan. “Kota yang duhulunya dikenal dengan nama Kutaraja ini memiliki sejarah panjang, mulai dari masa Hindu-Budha hingga pasca Tsunami.”

“Sejarah yang panjang ini telah meninggalkan jejak-jejak budaya yang kaya dan Pemerintah Kota Banda Aceh memandang hal ini sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan untuk membangun Banda Aceh menjadi kota yang lebih baik,” kata Illiza.

Menurutnya, budaya unik dan beragam yang dimiliki Banda Aceh disebabkan karena secara geografis letak Banda Aceh berada di ujung Selat Malaka yang dulunya merupakan gerbang lalu lintas perdagangan. 

“Para pedagang dari Timur Tengah yang singgah,tidak hanya membawa misi dagang, namun juga ikut menyebarkan ajaran Islam. Proses akulturasi budaya ini telah memberi pengaruh yang sangat besar bagi kebudayaan di Kota Banda Aceh.”

Pengaruh dari nilai-nilai Islam dalam budaya masyarakat, sambungnya, menjadi dasar pemberian hak keistimewaan bagi Provinsi Aceh dan Banda Aceh termasuk di dalamnya.

“Keistimewaan ini sebenarnya adalah sebuah potensi besar, dan jika dikelola dengan tepat akan memberi nilai positif yang unik dan hanya dimiliki oleh Aceh khususnya Kota Banda Aceh.”

Dengan karakteristik budaya yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam, sambungnya lagi, Pemko Banda Aceh memandangnya sebagai sebuah potensi untuk dikembangkan pada sektor pariwisata. “Dan pada 2015, kami bersama dengan Kementerian Pariwisata menetapkan Banda Aceh sebagai “World Islamic Tourism Destination.”

“Kami bertekad memperkenalkan kepada dunia bahwa Banda Aceh memiliki keunikan yang pantas untuk dijadikan tujuan wisata Islami dunia,” sebut Illiza.

Ia menambahkan, potensi budaya yang islami di Kota Banda Aceh juga semakin didorong oleh Pemko Banda Aceh melalui berbagai aktivitas keagamaan. “Tujuannya untuk membangun masyarakat yang berkarakter, berakhlak mulia dan memiliki rasa persaudaraan yang kuat didalam bingkai ajaran Islam.”

Selanjutnya, Illiza memaparkan beragam ‘magnet’ yang dimilik Banda Aceh, mulai dari cagar budaya, kesenian, hingga ragam kuliner yang menggugah selera. “Jika Bapak dan Ibu datang ke kota kami, jangan lupa menyeruput kopi Aceh. Setiap wisatawan yang datang ke Banda Aceh, biasanya tempat yang pertama dicari adalah warung kopi.”

Ngopi menjadi sebuah kebiasaan masyarakat di Kota Banda Aceh. Selain untuk menikmati rasa dan aromanya yang khas, ngopi juga merupakan bentuk sosialisasi sesama warga. Dan warung kopi telah menjadi tempat berinteraksi untuk menjalin silaturahmi hingga transaksi ekonomi.”

Menutup presentasinya, Illiza menyebutkan, dari berbagai usaha pihaknya untuk menjadikan budaya sebagai potensi pembangunan kota, salah satu hasil konkret yakni semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Banda Aceh.

“Pada 2014, kunjungan wisatawan tercatat sebanyak 11 ribu orang, dan pada 2015 meningkat menjadi 32 ribu orang. Dan sejak 2012 sampai dengan 2016, total kunjungan wisatawan sudah mencapai angka lebih dari 1 juta orang,” sebutnya. (Jun)


Update: 23-10-2016


SHARE: