Presentasi di Jepang, Illiza: Pengalaman Adalah Guru Terbaik

 

Sendai – Pada hari ke ketiga pelaksanaan Konferensi Ketiga PBB Mengenai Pengurangan Risiko Bencana (The 3rd UN World Conference on Disaster Risk Reduction (UNWCDRR)), Wali Kota Banda Aceh Hj Illiza Saaduddin Djamal SE diundang sebagai salah satu panelis dari tujuh panelis untuk memberikan presentasi pada seminar bertajuk “Resilient Communities: Our Home, Our Community, Our Recovery”.

Sementara keenam panelis lainnya adalah Mr Maitree Jongkraijug Ketua LSM Bann Nam Khem Thailand, Ms Cheryl Padullo Ketua Komunitas DAMPA Filipina, Mr Maung Maung Myint UN-HABITAT Myanmar, Ms Atsu Shibata Ketua masyarakat Kota Kamaichi Jepang, Mr Shigetoshi Miyawaki Ketua masyarakat Kota Saeki Jepang dan Mr Alfred S Romualdez Wali Kota Tacloban Philipina.

Pada acara yang digelar di Kota Sendai, Jepang tersebut, Wali Kota Illiza mendapatkan kesempatan pertama untuk menyampaikan presentasinya di dalam forum yang dihadiri oleh hampir seluruh perwakilan negara sedunia itu, Senin (16/3/2015).

Mengawali presentasinya, Illiza memaparkan tiga fase penanggulangan berdasarkan pengalaman Kota Banda Aceh menghadapai bencana gempa dan tsunami 2004 lalu. Pertama, fase tanggap darurat dan rehabilitasi. “Fase ini lebih difokuskan pada pencarian, penyelamatan dan pengobatan korban dengan melibatkan lembaga nasional dan pemerintah daerah,” katanya.

Kedua, fase rehabilitasi dan rekonstruksi yang difokuskan pada pemulihan, termasuk pembangunan kembali infrastruktur, pemukiman dan sebagainya. “Tahapan ini melibatkan LSM, masyarakat internasional, BRR dan pemerintah daerah.”

Ketiga, fase pembangunan berkelanjutan yang difokuskan pada pemulihan. Fase ini, kata Illiza, tergantung pada pemerintah daerah dengan mengimplementasikan strategi pembangunan baru seperti strategi kota hijau, strategi mitigasi bencana dan lain-lain.

Menurut Illiza, ada dua strategi yang diterapkan oleh Pemko Banda Aceh dalam pembangunan kota pasca tsunami, yakni dari aspek fisik dan non fisik. “Dalam aspek fisik, kami terapkan melalui sistem peringatan dini, peta administrasi, peta spasial dan peta mitigasi yang menunjukkan daerah yang rentan, peta perencanaan tata ruang, escape road dan escape building.”

Aspek non fisik, kata wali kota, juga memainkan peranan penting. Salah satu kunci yang mempercepat proses pemulihan paska bencana tahun 2004 adalah kearifan lokal aceh. “Masyarakat Aceh dikenal sebagai orang-orang memegang teguh ajaran agama dan ada keyakinan bahwa bencana adalah ujian dari Allah SWT agar kita bisa menjadi lebih baik di masa mendatang.”

Hal lainnya, Banda Aceh telah mengembangkan kemitraan dalam pengurangan resiko bencana dengan beberapa institusi pendidikan, lembaga penelitian, kota dan organisasi internasional, seperti LIPI, Universitas setempat, JICA, Kota Higashi Matsushima, UCLG, CDIA dan Citynet.

Masih menurut Illiza, rekonstruksi dan rehabilitasi telah meningkatkan pembangunan ekonomi di Banda Aceh secara tidak langsung. “Saat ini, PDB per kapita atas dasar harga konstan menjadi dua kali lebih tinggi dibandingkan sebelum tsunami. Sedangkan PDB per kapita berdasarkan harga pasar meningkat menjadi lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum tsunami,” katanya.

Muhammad Ridha SSTP MT MSc, Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Sosial Bappeda Kota Banda Aceh yang ikut mendampingi wali kota di ajang tersebut menambahkan, pada sesi tanya jawab, para peserta seminar sangat antusias dalam mengajukan pertanyaan untuk wali kota mengenai mitigasi bencana.

Kata Ridha, salah satu pertanyaan yang diajukan peserta adalah mengenai sisa-sisa bangunan atau aset pasca tsunami. “Di Tohoku, Jepang, mereka membuang semua sisa tsunami tapi di Banda Aceh kita memelihara beberapa situs tsunami.”

Peninggalan tsunami, sambungnya, berfungsi  sebagai salah satu tanda pengingat kebesaran Allah. Di isisi lain merupakan tempat edukasi dan rememmorial musibah tsunami.  “Tujuan akhirnya, masyarakat mempunyai pengetahuan dan kemampuan dasar dalam mitigasi bencana, sehingga akan mengurangi dampak dan kerugian yang lebih besar di masa depan.”

Ridha menjelaskan, di Tohoku, Jepang, mereka lebih memilih untuk membersihkan dan menghapus semua kejadian Tsunami tahun 2011 lalu agar masyarakat tidak merasa sedih dan trauma terhadap sisa-sisa tsunami baik dalam bentuk bangunan maupun kawasan yang terkena dampak tsunami.

“Infrastruktur dan fasilitas publik serta perumahan di sana dibangun baru sehingga menampilkan kota yang seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Wali kota kurang setuju dengan hal itu, karena menurutnya pengalaman adalah guru terbaik yang harus diturunkan kepada generasi penerus sebagai pelajaran di masa yang akan datang agar lebih siap dalam menghadapi bencana,” katanya.

Pada hari yang sama, Wali Kota Banda Aceh mengadakan pertemuan dengan mantan Wakil Wali Kota Apeldoorn, Belanda, Mr Rot Metz yang sekarang menjabat sebagai Wali Kota Soest, Belanda. “Mereka mendiskusikan mengenai rencana kerjasama sister city antara ke dua kota dalam hal manajemen kebencanaan,” pungkas Rida. (Jun)

 


SHARE: