Komitmen Illiza Wujudkan Banda Aceh Kota Ramah Disabilitas

 

Padang – Wali Kota Banda Aceh Hj Illiza Sa’aduddin Djamal SE menjadi salah satu pembicara pada Pertemuan Tingkat Tinggi Wali Kota Indonesia Ke-6 untuk Kota Inklusif (The 6th High Level Meeting of Mayors for Inclusive Cities), yang berlangsung di Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (27/9/2016). 

Pada kesempatan itu, Illiza memaparkan beragam kebijakan dan program yang telah dilaksanakan Pemko Banda Aceh terkait pemenuhan hak-hak bagi para penyandang disabilitas. “Walaupun masih belum sempurna, namun kami terus berjuang agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Banda Aceh,” ujarnya.

Mengusung visi Banda Aceh Model Kota Madani, Pemko Banda Aceh sebut Illiza sangat menjunjung tinggi kesetaraan hak seluruh kelompok masyarakat, keadilan, kebersamaan, dan menghargai hak-hak asasi manusia termasuk hak bagi penyandang disabilitas. “Kota Madani akan benar-benar tercapai ketika seluruh aspek tersebut dapat terpenuhi dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat.”

Secara keseluruhan, saat ini tercatat ada 570 orang penyandang disabilitas di Banda Aceh. Sebagai salah bentuk komitmen sebagai kota peduli disabilitas, pada 2013 lalu Banda Aceh menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi kota disabilitas Indonesia. “Komitmen tersebut juga kami terjemahkan ke dalam berbagai bidang agar setiap penyandang disabilitas mendapat kesempatan yang sama dengan warga lainnya,” katanya.

Illiza memastikan para penyandang disabilitas di Banda Aceh memiliki kesempatan yang sama dengan warga lainnya untuk menyampaikan pendapat dan masukannya dalam berbagai forum khususnya forum pembangunan Muspenca (Musyawarah Penyandang Cacat/Disabilitas), dan selanjutnya aspirasi mereka akan dibawa ke dalam forum Musrenbang. 

Setiap tahunnya, kelompok disabilitas bersama berbagai organisasi lainnya dilibatkan dalam perencanaan pembangunan kota. “Tujuannya agar mereka dapat menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. Salah satu usulan mereka yakni terkait aksesbilitas fisik dan komunikasi untuk membantu interaksi antara kaum difabel dengan lingkungannya.”

“Penyediaan akses kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan juga menjadi perhatian kami, disamping menyediakan anggaran khusus bagi kelompok disabilitas. Kami juga rutin melaksanakan pelatihan dan sosialisasi serta berbagai bentuk kerja sama lainnya.” 

Menurut Illiza, pembangunan fasilitas umum yang ramah disabilitas juga terus diupayakan pihaknya. “Pemko Banda Aceh mewajibkan setiap pembangunan sarana publik yang ramah disabilitas.” Dan yang tak kalah penting, sebutnya lagi, Pemko Banda Aceh juga melatih para penyandang disabilitas dalam menghadapi bencana seperti mengikutkan mereka dalam simulasi bencana “tsunami drill”.

Komunikasi pihaknya dengan kelompok inklusi, sebut Illiza, berjalan sangat intens. “Dengan turut memberikan pelatihan dalam bidang IT, komunikasi antara pemerintah dan kaum difabel cukup intens, bahkan hampir setiap hari saya mendapat email, telpon maupun SMS dari mereka. Pada setiap event di balai kota mereka juga kerap kita undang.”

Dalam bidang pendidikan, Pemko Banda Aceh terus berupaya menyediakan fasilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas maupun anak-anak mereka. “Di antaranya menerima guru khusus bagi anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih, membangun berbagai akses fisik, mengirim calon guru pendidik inklusi untuk mengikuti pendidikan khusus bagi anak tuna netra, tuna rungu, dan tuna grahita.”

“Hingga saat ini, sudah banyak sekolah di Kota Banda Aceh yang menerapkan sitem pendidikan inklusi. Untuk tingkat TK ada enam unit, SD 20 unit, SMP sembilan unit, SMA tujuh unit, dan 15 SLB dengan jumlah guru pendukung sebanyak120 orang.” Sementara di bidang kesehatan, sambung Illiza, pihaknya juga melakukan berbagai pendekatan seperti penyediaan layanan medis khusus bagi penyandang disabilitas secara gratis.

Di bidang perumahan, Pemko Banda Aceh juga mengeluarkan kebijakan agar kaum difabel dapat mengakses fasilitas perumahan yang terjangkau. “Dan akses tranportasi di Banda Aceh juga telah diatur agar sesuai dengan standar kebutuhan kelompok khusus. Saat ini kami sudah memiliki sistem tranportasi darat Trans Kutaraja yang ramah bagi penyandang disabilitas,” kata Illiza. 

Hal lainnya, Illiza mengungkapkan Pemko Banda Aceh juga memberikan bantuan Al-Quran Braile Digital kepada para tuna netra, sehingga memudahkan mereka untuk mempelajari, membaca dan memahami kalam Ilahi sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. “Menyahuti permintaan mereka, kami juga menyerahkan bantuan Radio agar mereka dapat mendengarkan ceramah-ceramah agama.”

Ia menambahkan, untuk membantu peningkatan kualitas hidup dan ekonomi, Pemko Banda Aceh bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, serta lembaga lainnya, juga menyediakan berbagai bantuan sosial di antaranya pemberian dana maupun alat bantu bagi penyandang disabilitas. 

“Bantuan usaha ekonomi produktif terus kita salurkan seperti kepada mereka seperti bantuan mesin jahit, dan bantuan tempat usaha refleksi dimana kita menyediakan tempat, pelatihan, peralatan dan modal usaha. Selain itu, kami juga memberikan bantuan biaya hidup sebesar Rp 2,5 juta per tahun bagi penyandang cacat, dan bantuan Rp 1 juta per tahun bagi keluarga dengan anak cacat, serta Rp 300 ribu per bulan bagi penyandang cacat berat, di samping bantuan-bantuan lainnya dari Baitul Mal.” 

Illiza hadir dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Wali Kota Indonesia Ke-6 untuk Kota Inklusif ini, guna memenuhi undangan dari UNESCO, ILO, dan Pemko Padang. Pihak UNESCO Jakarta menyampaikan penghargaan khusus terhadap komitmen dan kerja keras Illiza selaku Wali Kota Banda Aceh dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas di Banda Aceh selama ini. 

Pada kesempatan itu, Illiza juga menandatangani Piagam Jaringan Wali Kota Indonesia untuk Kota Inklusif. Piagam ini ditujukan untuk menyatakan kembali komitmen para wali kota untuk melakukan aksi-aksi yang direkomendasikan di dalam piagam tersebut demi memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas tanpa diskriminasi, sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipromosikan oleh the United Nations Conventions on the Rights of People with Disabilities (UNCRPD) yang diratifikasi pemerintah Indonesia pada 2011 lalu. 

Pembicara lain yang hadir adalah Drs Eva Rahmi MDS, Fungsional Analis Kebijakan Madya Kementerian Sosial. Ia menyampaikan presentasi berjudul “Peran Pemerintah Kota dalam Implementasi UU No.8/2016 tentang Penyandang Disabilitas”.

Di tempat yang sama pada 28-29 September 2016, juga digelar Lokakarya Peningkatan Kapasitas mengenai Ketenagakerjaan Inklusif dan ‘Meningkatkan Peluang Kerja Untuk Penyandang Disabilitas: Isu-isu Infrastruktur, Transportasi, Komunikasi, dan Teknologi yang Ramah Disabilitas’. (Jun)


SHARE: