Banda Aceh Hijau dan Bersih Menuju Kota Berkelanjutan
Jakarta – Dalam rangka menuju kota yang berkelanjutan, maka pembangunan Kota Banda Aceh tidak hanya hanya berfokus pada aspek ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Ketiga aspek ini mendapat perhatian yang sama dari Pemerintah Kota Banda Aceh.
Demikian diungkapkan Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal dalam presentasinya berjudul “Banda Aceh Go Green And Clean” di hadapan Dewan Pertimbangan Adipura (DPA), Selasa (14/6/2016) di The Sultan Hotel, Jakarta Pusat.
“Kami berkomitmen untuk secara terus-menerus berupaya meningkatkan kualitas lingkungan menuju kota berkelanjutan atau sustainable city,” sebutnya. (Baca: Banda Aceh Masuk Nominasi Adipura 2016)
Menurut Illiza, penerapan konsep pembangunan berkelanjutan pada aspek lingkungan dilakukan melalui perencanaan yang berwawasan lingkungan, pelestarian sumber daya alam, pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan yang berpedoman pada konsep berwawasan lingkungan, dan pemanfaatan renewable energy.
Sebagai upaya mewujudkan pengelolaan sampah secara mandiri di desa-desa yang ada di Kota Banda Aceh, kata Illiza, telah dibentuk pilot project desa mandiri dalam pengelolaan sampah di dua desa yakni Gampong Lambung dan Alue Deah Tengoh. “Kegiatan ini didukung oleh Project Comu yang merupakan kerja sama Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima-Jepang.”
Ia menjelaskan, beberapa pola yang dikembangkan di desa mandiri ini antara lain menerapkan sistem collecting point sebagai tempat pemilahan sampah yang dilakukan langsung oleh masyarakat. “Sampah organik dikumpulkan dan diolah di TPS 3R untuk selanjutnya dimanfaatkan menjadi pupuk untuk taman desa,” urainya.
“Sementara sampah anorganik dijual setelah sebelumnya diolah menjadi produk kerajinan. Pengelolaan dan sosialisai program ini dilakukan oleh KSM secara swadaya dan swadana. Kini, di dua desa tersebut tidak ada lagi pelayanan pengangkutan sampah dari Dinas Kebersihan,” urainya lagi.
Disamping keterlibatan masyarakat dalam mendukung terwujudnya kota bersih dan hijau, Illiza menyebut keberadaan komunitas peduli lingkungan sangat berperan dalam memberikan edukasi lingkungan bagi mayarakat. “Setidaknya ada 74 komunitas peduli lingkungan yang ada di Banda Aceh saat ini dan kehadiran mereka semakin memberi dampak bagi kemajuan kota.”
Selain itu, sejak 2009 Banda Aceh sudah memiliki Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang di dalamnya telah ditetapkan rencana pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Konsep pengembangan RTH antara lain difokuskan pada pengembangan RTH di desa-desa dan diharapkan setiap desa harus memiliki RTH yang dikelola oleh desa,” katanya.
Katanya lagi, untuk RTH private juga sudah diatur bahwa setiap persil bangunan harus memiliki RTH 30-40 persen. “Angka ini bahkan diatas target Undang-Undang Penataan Ruang yang hanya menargetkan 10 persen.”
“Luas RTH publik di Banda Aceh kini sudah mencapai 13,2 persen dan setiap tahun terus bertambah karena pemerintah selalu mengalokasikan anggaran untuk pembebasan lahan milik masyarakat untuk dikonversi menjadi taman-taman dan ruang publik hijau. Secara keseluruhan, luas RTH publik dan private di Banda Aceh sudah mencapai 23,2 persen,” ungkap Illiza.
Hal lainnya, Banda Aceh juga telah ditetapkan sebagai salah satu kota pilot project penerapan Kantong Plastik Berbayar. Peluncuran gerakan ini dilakukan bertepatan pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 22 Februari 2016 lalu. “Hingga saat ini semua gerai Indomaret dan dua Mall yang ada di Banda Aceh masih terus menerapkan kebijakan kantong plastik tidak gratis ini, dam mendapat sambutan positif dari warga,” katanya.
Ia menambahkan, sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat merupakan kunci dari keberhasilan pelaksanaan program program pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan. “Tim sosialisasi Dinas Kebersihan dan Keindahan selama ini terus aktif melakukan penyuluhan ke desa-desa baik di Meunasah, Balai Desa, Balee Inong, hingga door to door. Sementara di sekolah, sosialisasi juga terus kita lakukan melalui Upacara Bendera setiap Senin.”
Sebagai upaya edukasi bagi pelajar dan masyaakat untuk memilah sampah, sambung Illiza, telah pula dikembangkanlah bank-bank sampah di Banda Aceh yang hingga saat ini sudah terbentuk satu bank sampah induk, empat bank sampah desa dan 70 bank sampah sekolah. “Manajemen bank-bank sampah ini terus diperbaiki sehingga pola pengelolaannya menjadi baik.”
Pada kesempatan itu, Illiza juga memaparkan best practice Kota Banda Aceh dalam hal pemanfaatkan sampah sebagai sumber energi. “Saat ini kami sudah mulai memanfaatan gas methan dari Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dan TPA Gampong Jawa menjadi bahan bakar gas. “Gas methan yang dihasilkan sudah dimanfaatkan dan disalurkan ke rumah-rumah warga miskin yang tinggal di sekitar TPA.”
“Hingga saat ini sudah 23 rumah yang sudah menikmati gas methan dan akan ditambah lagi tahun ini hingga 100 rumah. Pada 2017 mendatang kami targetkan bisa mencapai 200 rumah. Gas methan yang disalurkan secara gratis ini terbukti mampu meringankan beban masyarakat dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pengembangan industri rumah tangga seperti usaha kacang tojin, keripik, dan nasi gurih,” sebut Illiza.
Tak ketinggalan, Illiza menyebutkan Pemko Banda Aceh juga sudah memiliki database pohon yang merangkum semua data pohon yang ada di ruang publik di bawah pengelolaan Dinas Kebersihan dan Keindahan. “Database ini tentu sangat bermanfaat sebagai acuan dalam menentukan lokasi penanaman pohon baru maupun pengawasan kondisi pohon,” pungkas Illiza menutup presentasinya. (Jun)